Rahasia Demokrasi


Negara Demokrasi

Demokrasi secara sederhana diartikan sebagai pemerintahan oleh rakyat. Demokrasi berdiri berdasarkan asumsi bahwa dalam sebuah negara yang berdaulat adalah rakyat. Secara teoritis, demokrasi mendapatkan pembenaran berdasarkan teori perjanjian sosial membentuk organisasi negara untuk kepentingan seluruh rakyat (res publica). Dari sisi hukum, perjanjian tersebut terwujud dalam bentuk konstitusi sebagai hukum tertinggi yang mendapatkan otoritas dari constituent power, yaitu rakyat itu sendiri.

Sebagai wujud dari ide kedaulatan rakyat, dalam sistem demokrasi harus dijamin bahwa rakyatlah yang sesungguhnya memiliki negara dengan segala kewenangannya untuk menjalankan semua fungsi kekuasaan negara, baik di bidang legislatif, eksekutif, maupun yudikatif. Rakyatlah yang sesungguhnya berwenang merencanakan, mengatur, melaksanakan, dan melakukan pengawasan serta menilai pelaksanaan fungsi-fungsi kekuasaan.[1]

Untuk dapat benar-benar menjalankan kedaulatannya, rakyat harus mengetahui segala hal tentang penyelenggaraan negara yang menyangkut kepentingan seluruh rakyat, atau yang disebut sebagai kepentingan publik. Hal ini sekaligus sebagai pertanggungjawaban lembaga-lembaga penyelenggara negara kepada publik yang telah memberikan kekuasaan dan kewenangan melalui konstitusi kepada organ-organ negara.

Jika publik tidak mengetahui segala sesuatu tentang penyelenggaraan negara, maka dengan sendirinya tidak dapat menjalankan fungsi kedaulatannya. Akibatnya, negara menjadi organ yang terpisah dan otonom dari publik. Pemerintahan berubah menjadi pemerintahan birokratik otoriter.[2] Demokrasi mensyaratkan adanya keterbukaan yang meliputi keterbukaan informasi publik dan keterbukaan berupa hak untuk berserikat dan mengeluarkan pendapat.

Keterbukaan atau transparansi dalam perkembangannya menjadi salah satu prinsip atau pilar negara demokrasi demi terwujudnya kontrol sosial. Transparansi dan kontrol sosial dibutuhkan untuk dapat memperbaiki kelemahan mekanisme kelembagaan demi menjamin kebenaran dan keadilan. Partisipasi secara langsung sangat dibutuhkan karena mekanisme perwakilan di parlemen tidak selalu dapat diandalkan sebagai satu-satunya saluran aspirasi rakyat. Ini adalah bentuk representation in ideas yang tidak selalu inherent dalam representation in presence.[3]

Mengingat pentingnya informasi, maka hak atas informasi dan berkomunikasi diakui sebagai hak asasi manusia. Pasal 28F UUD 1945 menyatakan bahwa setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia.[4] Ketentuan tersebut menunjukkan pentingnya informasi bagi setiap orang, tidak saja terkait dengan penyelenggaraan negara tetapi juga dalam mengembangkan kehidupan pribadi dan kelompok. Sebagai hak asasi, maka adalah kewajiban negara untuk memajukan, menjamin, memenuhi dan melindungi hak-hak tersebut.[5]

Hak atas informasi sebagai hak asasi manusia juga dapat dilihat dalam Pasal 19 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia[6] sebagai cakupan dari hak atas kebebasan berpendapat dan menyatakan pendapat. Jaminan yang sama juga ditegaskan dalam Pasal 19 ayat (2) Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik (ICCPR).[7] Hak atas informasi juga menjadi materi amandemen pertama konstitusi Amerika Serikat.[8]

Pelapor Khusus PBB tentang Kebebasan Berpendapat pada November 1999 dalam pertemuan Global Campaign for Free Expression menyatakan sebagai berikut:[9]“Yang tersirat pada kebebasan memperoleh informasi adalah hak masyarakat dalam membuka jalan untuk memperoleh informasi dan untuk tahu apa yang sedang pemerintah lakukan atas nama mereka. Tanpa hal-hal itu, kebenaran akan merana dan partisipasi masyarakat pada pemerintahan akan tetap sepenggal-sepenggal.”
Namun disadari bahwa setiap hak asasi manusia memiliki batasan, kecuali untuk hak-hak yang digolongkan dalam rumpun non-derogable rights. Paling tidak batasannya adalah hak asasi manusia orang lain, dan dalam konteks kehidupan sosial dan bernegara batasannya adalah ketertiban sosial dan keamanan. Batasan ini tertuang dalam Pasal 28J ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan bahwa dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.[10]

Terhadap hak atas informasi juga berlaku batasan tersebut. Batasan untuk menjamin pengakuan serta penghormatan hak dan kebebasan orang lain, keadilan, pertimbangan moral, dan nilai-nilai agama adalah batasan yang terkait dengan informasi privat. Sedangkan batasan berdasarkan pertimbangan keamanan dan ketertiban umum adalah batasan dalam lingkup informasi publik.

Dalam proses perjanjian sosial, tidak semua hal masuk dalam wilayah yang diperjanjikan. Terdapat hal-hal yang sifatnya pribadi yang tetap menjadi masalah tiap-tiap orang. Informasi yang sifatnya pribadi tersebut pada prinsipnya bersifat rahasia. Hal ini diakui dalam Pasal 28G UUD 1945 yang menyatakan bahwa setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta bendanya.

Namun masing-masing informasi dan prinsipnya tersebut tentu tidak dapat dipisahkan secara tegas. Negara yang mengelola urusan-urusan publik dituntut juga untuk mengetahui, walaupun tidak berarti mencampuri, hal-hal yang bersifat privat secara terbatas.[11]

Sedangkan hal-hal yang diperjanjikan baik dalam pactum subjectionis maupun pactum unionis menjadi urusan publik. Hal-hal inilah yang kemudian penyelenggaraannya diserahkan kepada negara sebagai organisasi kekuasaan. Oleh karena itu, pada prinsipnya segala informasi yang terkait dengan negara adalah informasi publik. Warga negara berhak mengetahui informasi tersebut.

Namun, terkait dengan tugas negara untuk memelihara ketertiban umum dan menjaga keamanan dan kedaulatan negara dan warga negara, terdapat beberapa informasi yang jika diberikan kepada publik akan diketahui oleh pihak-pihak tertentu atau negara lain. Hal ini dikhawatirkan akan digunakan untuk melakukan sesuatu yang mengganggu ketertiban dan keamanan serta mengancam eksistensi negara. Oleh karena itulah, informasi tersebut “disimpan” untuk waktu tertentu dan baru disampaikan kepada publik setelah melewati waktu tersebut. Inilah yang disebut dengan “rahasia negara”.

Dengan demikian rahasia negara adalah informasi publik yang untuk sementara waktu dirahasiakan kepada publik. Rahasia negara adalah batasan atau pengecualian dari hak atas informasi sebagai hak asasi manusia. Pengecualian ini harus ditentukan dengan undang-undang. Namun prinsipnya adalah bahwa semua informasi publik, termasuk informasi yang dimiliki negara, adalah milik publik. Sebagai suatu pengecualian tentu sifatnya harus terbatas dan limitatif dan berlaku pada jangka waktu tertentu saja. Agar pengecualian tersebut tetap menjadi satu kesatuan dan tidak bertentangan dengan hak atas informasi sebagai prinsip utama, maka sudah sewajarnya dibuat dalam satu produk hukum, bukan diatur dalam produk hukum tersendiri.

Untuk menetapkan perkecualian tersebut, berdasarkan prinsip artikel 19 UDHR, Toby Mendel mengemukakan uji tiga bagian yang harus dilakukan, yaitu:[12]
  1. Informasi yang bersangkutan harus terkait dengan salah satu sasaran yang tercantum dalam undang-undang tersebut.
  2. Pengungkapannya pasti mengancam timbulnya kerugian yang besar terhadap tujuan undang-undang itu sendiri.
  3. Kerugian pada tujuan itu harus lebih besar dari pada kepentingan masyarakat untuk memiliki informasi tersebut.


Selain itu, sebagai konsekuensi dari sistem demokrasi, rakyat juga harus dilibatkan melalui mekanisme tertentu untuk menentukan informasi apa saja yang masuk kategori rahasia negara dan diberi hak untuk mengajukan keberatan terhadap keputusan rahasia negara yang dibuat secara sepihak oleh negara.

Mengingat pertimbangan tersebut, maka harus dianut prinsip maximum disclosure and limited exception. Pengecualian yang terbatas hanya dapat dilakukan dengan merinci ruang lingkup rahasia negara dan menetapkan prosedur yang dapat memastikan bahwa kewenangan yang diberikan untuk menentukan, mengelola dan menggunakan rahasia negara tidak akan disalahgunakan. Hal ini dilakukan dengan membuat mekanisme pengawasan dan pengajuan keberatan (complaint).

Pengecualian yang sifatnya terbatas adalah tidak tepat jika dituangkan dalam suatu undang-undang tersendiri. Jika diatur dalam undang-undang tersendiri, apalagi dengan paradigma yang berbeda dari hal prinsip yang dikecualikan, maka undang-undang yang dibentuk tidak akan memenuhi tujuannya. Jika rahasia negara diatur dalam undang-undang tersendiri, maka tujuannya untuk mengatur sesuatu yang bersifat pengecualian tidak tercapai, tetapi menjadi rezim hukum tersendiri.

II. Ancaman dalam RUU Rahasia Negara
  • a. Terhadap Kebebasan Masyarakat Sipil
Definisi Rahasia Negara yang sangat luas sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 1 butir 1 RUU dan ruang lingkup yang meliputi 7 bidang tanpa klasifikasi limitatif pada masing-masing bidang yang termasuk sebagai rahasia negara (Pasal 5 RUU) mengakibatkan hampir semua urusan penyelenggaraan pemerintahan dapat masuk dalam kategori rahasia negara.

Defenisi dan ruang lingkup dalam RUU Rahasia negara yang sangat luas tersebut dapat ditafsirkan secara sewenang-wenang meliputi semua dokumen yang dibuat oleh lembaga negara dan instansi pemerintah. Hal ini ditambah lagi dengan adanya spesies “rahasia instansi” dengan klasifikasi konfendensial dan terbatas. Klasifikasi ini semakin menambah banyak dan kuat pembenaran untuk menghambat terpenuhinya hak atas informasi. Jika masyarakat sipil tidak mendapatkan informasi terkait jalannya pemerintahan, maka dapat dipastikan tidak hanya kebebasan memperoleh informasi saja yang terhambat, tetapi juga kebebasan menyampaikan pendapat dan hak berpartisipasi dalam pemerintahan dan pembangunan juga terancam.

Ancaman terhadap kebebasan juga muncul berupa sanksi pidana kepada setiap orang yang dituduh membocorkan rahasia negara karena RUU ini menganut asas bahwa setiap orang wajib melindungi rahasia negara (Pasal 2 ayat (1) RUU). Asas tersebut diwujudkan dalam ketentuan pidana yang tidak saja dikenakan kepada “orang yang sengaja dengan melawan hukum” membocorkan rahasia negara, tetapi juga kepada orang yang tidak mengetahui bahwa tindakannya telah mengakibatkan bocornya rahasia negara (Pasal 35 RUU). Pada saat ruang lingkup dan definisi rahasia negara sangat luas dan terdapat kewenangan tanpa batas menentukan sebuah informasi adalah rahasia negara, maka setiap orang yang menyampaikan informasi publik dapat dikenai sanksi pidana jika kemudian Kepala Instansi terkait menyatakan bahwa informasi tersebut adalah rahasia negara.
  • b. Terhadap Penegakan Hukum
Walaupun salah satu ruang lingkup rahasia negara adalah proses penegakan hukum, namun jika pengaturan rahasia negara adalah seperti dalam RUU ini, maka proses penegakan hukum sendiri yang akan terancam. Dalam RUU Rahasia Negara terdapat kategori pemilik, pengelola, dan pengguna (Pasal 1 butir 10, 11, dan 12 RUU). Pemilik adalah setiap instansi yang membuat atau memiliki Rahasia Negara. Pengelola adalah setiap orang yang diberi wewenang untuk menangani pengelolaan Rahasia Negara.

Sedangkan pengguna adalah instansi tertentu yang memperoleh hak untuk mengetahui suatu rahasia negara dari institusi pemiliknya, atau hakim yang diberi hak secara resmi. Hal ini berarti tidak semua instansi yang memperoleh hak untuk mengetahui suatu rahasia negara. Selain itu, tidak dijelaskan dalam RUU ini bagaimana cara suatu instansi untuk memperoleh hak sebagai pengguna, dan siapa yang memutuskan pemberian hak tersebut.

Jika suatu informasi dibutuhkan dalam proses penegakan hukum tetapi dinyatakan sebagai rahasia negara oleh seorang Kepala Instansi, maka aparat penegak hukum tidak dapat menyita ataupun sekedar mengetahui isi informasi tersebut secara langsung. Aparat penegak hukum harus berstatus sebagai pengguna. Tetapi bagaimana cara untuk menjadi pengguna yang berhak dan siapa yang akan memutuskannya? Kalaupun ada mekanisme tertentu, apakah tidak memberi kesempatan kepada pelaku untuk merubah atau menghilangkan informasi yang dibutuhkan.

Bahkan, Pasal 27 RUU menyatakan bahwa rahasia negara yang diperlukan polisi, jaksa, dan/atau hakim untuk kepentingan peradilan tidak dihadirkan secara fisik. Rahasia negara tersebut digantikan dengan keterangan yang diterbitkan oleh pemilik. Lalu bagaimana melihat bahwa keterangan yang dikeluarkan pemilik tersebut benar-benar sesuai dengan isi rahasia negara? Bagimana jika informasi tersebut terkait dengan tindak pidana yang dilakukan di dalam atau melibatkan orang dari instansi itu sendiri?

Berdasarkan pertanyaan-pertanyaan mendasar yang tidak dapat dijawab oleh RUU ini, maka jelas bahwa RUU ini dapat digunakan untuk menghambat proses penegakan hukum. Proses penyidikan korupsi[13] atau pelanggaran HAM akan terhenti jika suatu dokumen penting yang mampu mengungkap bagaimana tindak pidana tersebut dilakukan dinyatakan sebagai rahasia negara, bahkan mungkin oleh pelaku itu sendiri yang masih menduduki sebagai kepala suatu instansi.[14]
  • c. Terhadap Pengawasan dan Akuntabilitas Publik
Ancaman terhadap proses penegakan hukum juga akan dialami dalam proses pengawasan dan upaya mewujudkan akuntabilitas publik. Pengawasan, baik yang dilakukan oleh publik maupun oleh lembaga negara tertentu seperti DPR dan DPRD akan terhambat jika berhadapan dengan rezim Rahasia Negara. DPR atau DPRD dalam melakukan pengawasan mutlak memerlukan informasi tertentu. Jika tidak mendapatkan informasi tersebut, maka pengawasan tidak dapat dilakukan secara tajam dan sesuai dengan fakta yang ada. Untuk dapat mengakses informasi yang dikategorikan oleh suatu instansi sebagai rahasia negara, maka DPR atau DPRD harus memiliki hak sebagai pengguna yang dalam RUU ini tidak pernah disebutkan siapa dan bagaimana cara memperolehnya.

Hambatan yang sama juga akan dialami lembaga-lembaga pengawas dan auditor seperti BPK, BPKP, ataupun Badan Pengawas Daerah (Bawasda). Dokumen realisasi anggaran, tender, perjanjian, atau bahkan kuitansi dapat saja ditentukan sebagai rahasia negara dan menjadi alasan untuk menolak memberikannya kepada lembaga pengawas dan auditor. Jika lembaga-lembaga pengawas dan auditor negara saja dapat terhambat oleh RUU Rahasia Negara, apalagi masyarakat biasa yang akan melakukan kontrol publik?
  • d. Terhadap Hubungan Internasional
Salah satu alasan utama perlunya keberadaan rahasia negara adalah adanya ancaman eksternal (external threat approach) yang dipandang dapat mengganggu kepentingan keamanan nasional.[15] Namun asumsi tersebut dilatarbelakangi oleh kondisi hubungan antar negara yang masih sering mengalami ketegangan dan belum banyak instrumen hukum yang mengatur masalah hubungan internasional.

Hubungan internasional saat ini telah dilaksanakan dengan menganut prinsip demokrasi dan good governance demi terciptanya perdamaian. Kebijakan-kebijakan negara dalam hubungan internasional harus juga mengikuti prinsip akuntabilitas dan kontrol publik yang diwujudkan dengan adanya syarat-syarat atau kondisi-kondisi yang harus dipenuhi untuk dapat membuat perjanjian regional maupun global.

Hukum internasional saat ini sudah berkembang dengan materi yang cukup luas, mulai dari masalah HAM hingga masalah kebijakan perekonomian pasar bebas. Masalah-masalah lingkungan hidup, sistem transfer uang, dan banyak masalah lain tidak lagi secara mutlak berada dalam lingkup kedaulatan negara. Kerahasiaan negara yang mengabaikan kepentingan internasional akan menghambat upaya untuk mengatasi masalah-masalah transnasional seperti perang, terorisme, obat terlarang, korupsi, dan perdagangan manusia.[16]

Jika suatu negara memiliki rezim hukum Rahasia Negara yang demikian tertutup dan eksesif seperti dalam RUU Rahasia Negara, maka negara lain dan masyarakat internasional akan menaruh kecurigaan bahwa negara tersebut menyimpan suatu rahasia yang selayaknya diketahui oleh masyarakat internasional. Konsekuensi bagi pemerintahan yang non-kooperatif adalah akan terisolasi dalam hubungan internasional. Berbagai tekanan akan diterima dan menerima perlakuan tertentu sebagai sanksi yang tidak hanya merugikan negara sebagai organisasi, tetapi juga rakyat secara keseluruhan seperti pemberlakuan embargo dan pengenaan tarif perdagangan.

Apabila suatu informasi dalam hubungan internasional, baik karena adanya tekanan internasional ataupun tidak, telah disampaikan dan diketahui oleh masyarakat internasional, maka sudah seharusnya informasi tersebut tidak diperlakukan sebagai rahasia negara lagi terhadap warga negara. Jika negara membuka informasi ke luar negeri tetapi merahasiakan kepada rakyatnya sendiri, maka negara telah mengkhianati mandat yang diberikan oleh rakyatnya sendiri.
  • e. Terhadap Pertahanan dan Keamanan[17]
Ruang lingkup pertama rahasia negara dalam RUU Rahasia Negara adalah pertahanan dan keamanan negara (Pasal 5 RUU Rahasia Negara). Penjelasan pasal tersebut menyebutkan contoh rahasia negara di bidang keamanan negara antara lain: persenjataan, perbekalan, peralatan tempur dan penemuan teknologinya beserta riset pengembangan. Benarkah hal-hal tersebut dapat dan perlu dirahasiakan?

Masalah pertahanan dan keamanan terkait erat dengan masalah hubungan internasional karena ancaman utama pertahanan dan keamanan adalah dari luar atau dari negara lain (external threat approach). Namun perang yang mungkin terjadi antara dua negara atau lebih sudah tidak ditempatkan sebagai urusan masing-masing negara oleh masyarakat internasional. Ketegangan dan perang yang terjadi selalu merugikan masyarakat internasional secara keseluruhan dan tentu menjadi masalah masyarakat internasional.

Pada tataran internasional, yang berlaku tidak lagi konsep pertahanan yang agresif sebagai upaya menciptakan stabilitas dan perdamaian. Konsep pertahanan yang berkembang adalah konsep pertahanan non-provokatif (non-provocative deffence) yang menjadi bagian dari rezim pelucutan senjata (disarmament) dan pengendalian senjata (arms control) dan mengharuskan transparansi di bidang pertahanan negara.

Strategi pertahanan non-provokatif mengatur dinamika pertahanan negara di masa damai, yang meliputi:
  1. Transparansi kebijakan pertahanan negara melalui publikasi buku putih pertahanan;
  2. Transparansi gelar pasukan melalui pelaporan gelar penindakan yang dilakukan dalam rangka operasi militer selain perang, latihan militer, dan atau dislokasi gelar statik suatu satuan militer;
  3. Transparansi anggaran pertahanan negara; dan
  4. Transparansi proliferasi vertikal senjata konvensional suatu negara.


Transparasi persenjataan telah menjadi bagian dari regulasi internasional tentang transfer senjata yang dikeluarkan oleh lembaga-lembaga multilateral seperti Wassenar Arrangement berupa dokumen “Arrangement on Export Controls for Conventional Arms and Dual-Use Goods and Technologies”. Negara-negara anggota PBB juga telah menyepakati “Guidelines for International Arms Transfer” yang dikeluarkan oleh Disarmament Commission pada 3 Mei 1996. Pedoman PBB tersebut mengatur kesepakatan dasar transfer persenjataan dengan kewajiban utama, (1) kerjasama untuk mencegah pengalihan; (2) penerbitan sertifikat penggunaan akhir dan pemakai akhir yang dapat diverifikasi; (3) kerjasama kepabeanan dan intelijen untuk mendeteksi perdagangan gelap senjata; (4) kerjasama hukum untuk mengembangkan prosedur baku ekspor dan impor senjata; (5) pengaturan terhadap agen perantara pemasok senjata; (6) ketaatan terhadap sanksi dan embargo senjata yang dikeluarkan oleh Dewan Keamanan PBB; dan (7) pelaporan transaksi transfer senjata.

Pelaporan senjata dilakukan berdasarkan UN Register of Conventional Arm dan UN Standarized System of Reporting on Military Expenditure. Resolusi tersebut mengatur transparansi di bidang pertahanan negara yang berkaitan dengan data tentang transfer senjata konvensional yang meliputi:
  • kebijakan pertahanan negara yang melakukan transfer senjata;
  • perusahaan pengadaan alutsista;
  • produksi nasional persenjataan.
Ketentuan tersebut juga mengatur struktur pelaporan tentang tujuh kategori persenjataan yang harus dilaporkan, meliputi:
  1. tank-tank tempur (battle tanks);
  2. kendaraan tempur yang dipersenjatai (armored combat vehicles);
  3. sistem artileri kaliber besar (large-calibre artillery systems);
  4. pesawat tempur (combat aircraft);
  5. helikopter tempur (attack helicopters);
  6. kapal perang: kapal atau kapal selam yang dilengkapi dengan penggunaan militer dengan standard of displacement 750 metrik ton atau lebih dan kapal dengan displacement yang lebih rendah jika dilengkapi dengan peluncur rudal dengan jangkauan serendahnya 25 kilometer atau torpedo dengan jangkauan yang sama; dan
  7. rudal dan peluncur rudal, yang diarahkan atau tidak diarahkan, roket, rudal balistik dan rudal cruise yang mampu mengirimkan hululedak atau senjata penghancur dengan jangkauan jarak setidak-tidaknya 25 kilometer dan alat-alat yang dirancang atau dimodifikasi secara khusus untuk meluncurkan roket-roket atau rudal-rudal semacam itu.


Jelas bahwa berdasarkan ketentuan yang mengharuskan transparansi kebijakan pertahanan negara tersebut, masalah persenjataan yang disebutkan dalam contoh rahasia negara di bidang pertahanan dan keamanan negara (Penjelasan Pasal 5 RUU) tidak dapat ditetapkan sebagai rahasia negara. Ketentuan internasional yang sangat transparan tersebut sesuai dengan kebijakan pertahanan negara lebih diarahkan benar-benar sebagai upaya pertahanan menghadapi ancaman luar, bukan untuk melakukan agresi ke negara lain.

Pada masa damai, kekuatan pertahanan lebih merupakan sarana diplomasi untuk mencegah (detterent) kekuatan luar melakukan intervensi atau agresi. Konsekuensinya, jika kebijakan dan kekuatan pertahanan negara, termasuk persenjataan, dikategorikan sebagai rahasia negara, maka akan memicu kecurigaan negara lain, khususnya negara tetangga. Akibatnya, negara tetangga tersebut akan menyiapkan diri dengan kekuatan pertahanan semaksimal mungkin. Terjadilah dilema keamanan (security dilemma) yang memicu perlombaan bersenjata. Kondisi ini dengan sendirinya mengancam pertahanan masing-masing negara dan keamanan masing-masing warga negara.
  • f. Terhadap Perekonomian Nasional
Harus diingat bahwa perekonomian Indonesia sebagian besar digerakkan oleh anggaran negara. Aktivitas perekonomian nasional yang utama adalah belanja pemerintah. Karena terkait dengan belanja APBN, maka jika banyak bidang ekonomi yang menjadi rahasia negara, akibatnya adalah banyak terjadi praktek kolusi dan nepotisme. Hal ini menciptakan ekonomi birokrasi rente yang merusak dan rapuhnya fundamen perekonomian nasional seperti pada masa Orde Baru.

Agar pengalaman perekonomian semasa orde baru tidak terulang, dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 Tentang Keuangan Negara telah dianut prinsip transparansi. Pasal 3 ayat (1) dengan tegas menyatakan bahwa keuangan negara dikelola secara tertib, taat pada peraturan perundang-undangan, efisien, ekonomis, efektif, transparan dan bertanggungjawab dengan memperhatikan rasa keadilan dan kepatutan.

Selain itu, jika data perekonomian, misalnya stok beras, dirahasiakan, akan dapat dimanfaatkan oleh para tengkulak yang memiliki akses ke kekuasaan atau bahkan oleh para pejabat yang juga memiliki aktivitas ekonomi. Lebih buruk lagi jika data mengenai aset negara atau perusahan yang memiliki utang pada bank akan dilelang dirahasiakan sehingga memungkinkan kroni-kroni penguasa yang dapat membelinya dengan harga murah.[18]

III. Ruang Lingkup Rahasia Negara yang Ideal

Mengingat rahasia negara adalah bagian pengecualian dari hak atas informasi, maka pengaturan rahasia negara juga harus menjadi bagian dari pengaturan hak atas informasi. Pengaturan rahasia negara dalam suatu undang-undang tersendiri memiliki dua kelemahan mendasar, pertama, adalah lingkup materi yang sempit, dan kedua, dapat terlepas dari prinsip hak atas informasi.

Dalam konteks itu, pengaturan mengenai rahasia negara sepantasnya menjadi bagian dari pengecualian dalam regulasi politik yang akan mengatur dan menjamin tentang kebebasan publik untuk memperoleh informasi (RUU KMIP). Karena diatur sebagai satu kesatuan dalam RUU KMIP, maka rahasia negara tidak perlu didefinisikan, tetapi disebutkan cakupannya secara limitatif.

Dengan demikian, sifat pengecualian hak atas informasi yang kemudian menjadi rahasia negara didalam RUU KMIP hanya mengatur ruang lingkup sbb:

Pasal ….

Setiap badan publik wajib membuka akses bagi setiap orang untuk mendapatkan informasi publik, kecuali informasi yang merupakan rahasia negara, yaitu:
  1. Informasi di bidang Pertahanan dan Keamanan yang meliputi:
    • i. Sistem intelijen strategis;
    • ii. Pangkalan data strategis;
    • iii. Pusat komando dan perencanaan operasi militer;
    • iv. Kekuatan militer yang akan digunakan dalam gelar penindakan;
    • v. Sistem komunikasi strategis;
    • vi. Dukungan logistik operasi;
    • vii. Spesifikasi persenjataan;
    • viii. Perintah operasi dan taktik militer.
  2. Informasi yang apabila dibuka akan menimbulkan akibat-akibat sebagai berikut:
    • i. Informasi yang apabila dibuka dapat menghambat proses penegakan hukum, meliputi informasi:
  3. 1) materi penyelidikan dan penyidikan suatu tindak pidana yang jika dibuka dapat menghambat proses penyelidikan dan penyidikan itu sendiri;
  4. 2) identitas informan pelapor, saksi dan korban yang masih dalam proses penyelidikan dan penyidikan yang jika dibuka akan membahayakan keselamatan mereka;
  5. 3) data intelijen kriminal dan rencana yang berhubungan dengan pencegahan dan penanganan kegiatan kriminal;
  6. 4) informasi yang membahayakan keselamatan dan kehidupan penegak hukum dan atau keluarganya.
    • ii. Informasi yang apabila dibuka dapat melanggar kerahasiaan pribadi, yaitu informasi tentang:
  7. 1) riwayat, kondisi dan perawatan kesehatan fisik, psikiatrik, dan psikologis seseorang;
  8. 2) asal-usul atau keterkaitan dengan ras, etnis, keyakinan agama, orientasi seksual, dan keyakinan politik seseorang;
  9. 3) hasil-hasil evaluasi sehubungan dengan kapasitas, intelektualitas, atau rekomendasi kemampuan seseorang.


IV. Penutup

Rahasia negara adalah informasi publik yang untuk waktu tertentu tidak dapat disampaikan kepada publik karena dapat menimbulkan ancaman terhadap keamanan nasional. Dengan sendirinya rahasia negara merupakan perkecualian dan pembatasan dari hak atas informasi yang telah diakui sebagai hak asasi manusia.

Karena sifatnya sebagai perkecualian dan pembatasan, maka rahasia negara harus dirumuskan secara limitatif sehingga tidak menimbulkan kesewenang-wenangan aparat negara dan merugikan proses demokratisasi. Berdasarkan pembahasan dalam critical review ini, maka diberikan rekomendasi sebagai berikut:

  1. Pengaturan rahasia negara tidak dibuat dalam UU tersendiri, tetapi menjadi bagian pengecualian dari RUU KMIP yang saat ini tengah dibahas di DPR.
  2. Penentuan ruang lingkup rahasia dibatasi semaksimal mungkin dengan benar-benar mempertimbangkan argumentasi filosofis, normatif, dan sosiologis, baik dalam lingkup nasional maupun perkembangan internasional.
  3. Ruang lingkup rahasia negara dibatasi pada informasi tertentu dari aktivitas intelijen strategis dan pertahanan keamanan dengan mempertimbangkan instrumen hukum internasional dan diarahkan untuk menanggulangi masalah keamanan nasional dari ancaman kejahatan terorganisasi.
  4. Sanksi pidana lebih ditekankan kepada pejabat publik yang bertanggungjawab untuk mengelola rahasia negara, bukan kepada masyarakat umum.


Penulis adalah Koordinator Peneliti di Imparsial Jakarta.

DAFTAR PUSTAKA
Arinanto, Satya. Hak Asasi Manusia Dalam Transisi Politik Di Indonesia. Jakarta: Pusat
Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2003.
Dahl, Robert A. Perihal Demokrasi: Menjelajah Teori dan Praktek Demokrasi Secara Singkat. Khatarina, Josi dkk. Melawan Ketertutupan Informasi, Menuju Pemerintahan Terbuka. Edisi Revisi. Jakarta: Koalisi Untuk Kebebasan Informasi, 2003.
Mahfud MD. Politik Hukum Di Indonesia. Jakarta: LP3ES, 1998.
Mendel, Toby. Kebebasan Memperoleh Informasi, Sebuah Survey Perbandingan Hukum. Judul Asli: Freedom of Information: A Comparative Legal Survey. Penerjemah: Tim Kawantama. Jakarta: UNESCO, 2004.
Prasetyono, Edy. Rahasia Negara Dan Hubungan Internasional. “Menyoal Kerahasiaan Negara Secara Komprehensif Dalam Sistem Negara Demokratik”, Imparsial.
 The Journal of College and University Law. Focus on Secrecy And University Research. The Tim Widjajanto, Andi. Rahasia Negara: Transparansi Pertahanan vs Kerawanan Strategis.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.