MEMILIH PEMIMPIN NEGARA
Secara sederhana, pemimpin negara adalah seseorang yang diamanahkan atau memiliki kewenangan untuk mengatur seluruh urusan rakyat di suatu negara.
Umumnya, istilah yang digunakan untuk menyebut mereka disesuaikan dengan bentuk negaranya. Raja atau sultan digunakan bagi negara yang
berbentuk kerajaan, kaisar digunakan untuk negara yang berbentuk imperium atau kekaisaran, presiden atau perdana menteri digunakan untuk negara yang berbentuk republik. Negara yang berbentuk kekhilafahan pemimpinnya biasa disebut imam, amirul mukminin atau khalifah.
Terkait dengan judul di atas, konteks kata memilih lebih bermakna menentukan pilihan dari pasangan pemimpin negara yang sudah ada (telah menyatakan diri sebagai calon).
Sementara konteks kata mencari dapat dimaknai upaya untuk menemukan pemimpin ideal yang bisa berasal dari calon yang sudah ada, atau dari mereka yang secara lembaga tidak dicalonkan partai manapun tapi memenuhi syarat sebagai pemimpin. Bisa pula dimaknai sebagai upaya untuk memunculkan calon pemimpin negara yang ideal.
Di negeri ini, undang-undang tentang pemimpin negara (presiden) mewajibkan seorang pemimpin negara (capres/cawapres) diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu.
Sebelum pelaksanaan pemilu, (UU Pilpres Pasal 6A ayat (2) partai /gabungan partai yang mencalonkannya harus memperoleh 20 persen kursi DPR atau 25 persen suara secara nasional.
Kebijakan pengajuan usulan pemimpin negara lewat satu pintu (parpol/gabongan parpol) menjadikan mereka yang mencalonkan diri lewat jalur lain (calon independen) hanya bisa gigit jari.
Sementara syarat personal bagi calon pemimpin negara (capres/cawapres) meliputi, minimal berusia di bawah 35 tahun, berpendidikan minimal SLTA, mampu secara rohani dan jasmani, tidak pernah dipidana penjara dengan ancaman lima tahun atau lebih, punya NPWP dan membayar pajak, tidak sedang pailit, bukan anggota partai terlarang dan lainnya (pasal 44 UU Pilpres).
Mencermati realitas di atas, secara personal sebenarnya banyak tokoh nasional yang layak mencalonkan diri sebagai pemimpin negara. Banyak pihak berharap di pemilu nanti terpilih seorang pemimpin ideal yang mampu membawa masyarakat menuju apa yang dicita-citakan bersama, kesejahteraan lahir dan batin.
Memang figur pemimpin demikian tergolong sulit dicari. Menurut Ketua MUI Pusat, KH Ma’ruf Amin, pemimpin seperti itu sebenarnya bisa dimunculkan dari kalangan umat Islam, karena sistem politik kita saat ini memungkinkan munculnya pemimpin islami dari kalangan umat Islam.
Hal itu cukup beralasan, mengingat pertama ada parpol Islam yang mengusungnya, kedua jumlah umat Islam yang mayoritas, namun realitas di tiga pemilu terakhir, partai Islam selalu kalah. Konon itu terjadi karena umat Islam belum satu suara.
Ketua IKADI Pusat Satori Ismail menyatakan, pemimpin ideal adalah pemimpin yang amanah dan rabbani. Kriterianya mampu bekerjasama dengan umat, mampu menyatu dan menyatukan umat, berkeadilan, meyakini tugas dan sasarannya. Di samping itu menghargai nilai-nilai kemanusiaan, mampu mengambil keputusan dengan benar pada waktu yang tepat dan berkemauan kuat.
Kriteria lainnya, tabah, bertanggung jawab, berpandangan jauh dan bervisi jujur serta paham kondisi kejiwaan yang dipimpinnya.
Sementara Ketua DPP HTI, Hafidz Abdurrahman MA menyatakan, pemimpin yang ideal adalah pemimpin yang mengatur rakyatnya dengan syariat Islam.
Walaupun mayoritas penduduk negeri ini beragama Islam, ternyata bentuk negara kita bukan negara Islam, melainkan Republik Kesatuan sebagaimana disebutkan dalam UUD 1945.
Berdasarkan hasil survei morgan research, SEM Institute Jakarta, dan hasil Kongres Umat Islam 2005, 50 persen lebih responden menghendaki agar syariat Islam menjadi solusi berbagai problematika bangsa.
Hal itu mengindikasikan ada keinginan kuat dari masyarakat untuk menggunakan aturan selain demokrasi produk undang-undang warisan kolonialis yang sekuler dan liberal yang menjadikan rakyat belum sejahtera.
Imbas krisis global yang menyebabkan keterpurukan di berbagai bidang membuat rakyat lebih mementingkan urusan perut ketimbang urusan politik. Kondisi itu diperparah dengan rivalitas kurang sehat yang dipertontonkan capres/cawapres lewat berbagai manuver politik mereka.
Menghadapi beragam problem itu, kiranya perlu dimunculkan figur calon pemimpin negara yang berani menyuarakan dengan lantang perubahan paradigmatik, bahwa penerapan aturan warisan kolonialis (demokrasi) yang diterapkan selama ini belum mampu memberi kesejahteraan
Langganan:
Postingan (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.