Jumat, 05 Maret 2010

Presiden Pertama RI


SOEKARNO


Presiden pertama Republik Indonesia, Soekarno yang biasa dipanggil Bung Karno, lahir di Blitar, Jawa Timur, 6 Juni 1901 dan meninggal di Jakarta, 21 Juni 1970. Ayahnya bernama Raden Soekemi Sosrodihardjo dan ibunya Ida Ayu Nyoman Rai. Semasa hidupnya, beliau mempunyai tiga istri dan dikaruniai delapan anak. Dari istri Fatmawati mempunyai anak Guntur, Megawati, Rachmawati, Sukmawati dan Guruh. Dari istri Hartini mempunyai Taufan dan Bayu, sedangkan dari istri Ratna Sari Dewi, wanita turunan Jepang bernama asli Naoko Nemoto mempunyai anak Kartika..

Masa kecil Soekarno hanya beberapa tahun hidup bersama orang tuanya di Blitar. Semasa SD hingga tamat, beliau tinggal di Surabaya, indekos di rumah Haji Oemar Said Tokroaminoto, politisi kawakan pendiri Syarikat Islam. Kemudian melanjutkan sekolah di HBS (Hoogere Burger School). Saat belajar di HBS itu, Soekarno telah menggembleng jiwa nasionalismenya. Selepas lulus HBS tahun 1920, pindah ke Bandung dan melanjut ke THS (Technische Hoogeschool atau sekolah Tekhnik Tinggi yang sekarang menjadi ITB). Ia berhasil meraih gelar "Ir" pada 25 Mei 1926.

Kemudian, beliau merumuskan ajaran Marhaenisme dan mendirikan PNI (Partai Nasional lndonesia) pada 4 Juli 1927, dengan tujuan Indonesia Merdeka. Akibatnya, Belanda, memasukkannya ke penjara Sukamiskin, Bandung pada 29 Desember 1929. Delapan bulan kemudian baru disidangkan. Dalam pembelaannya berjudul Indonesia Menggugat, beliau menunjukkan kemurtadan Belanda, bangsa yang mengaku lebih maju itu.

Pembelaannya itu membuat Belanda makin marah. Sehingga pada Juli 1930, PNI pun dibubarkan. Setelah bebas pada tahun 1931, Soekarno bergabung dengan Partindo dan sekaligus memimpinnya. Akibatnya, beliau kembali ditangkap Belanda dan dibuang ke Ende, Flores, tahun 1933. Empat tahun kemudian dipindahkan ke Bengkulu.

Setelah melalui perjuangan yang cukup panjang, Bung Karno dan Bung Hatta memproklamasikan kemerdekaan RI pada 17 Agustus 1945. Dalam sidang BPUPKI tanggal 1 Juni 1945, Ir.Soekarno mengemukakan gagasan tentang dasar negara yang disebutnya Pancasila. Tanggal 17 Agustus 1945, Ir Soekarno dan Drs. Mohammad Hatta memproklamasikan kemerdekaan Indonesia. Dalam sidang PPKI, 18 Agustus 1945 Ir.Soekarno terpilih secara aklamasi sebagai Presiden Republik Indonesia yang pertama.

Sebelumnya, beliau juga berhasil merumuskan Pancasila yang kemudian menjadi dasar (ideologi) Negara Kesatuan Republik Indonesia. Beliau berupaya mempersatukan nusantara. Bahkan Soekarno berusaha menghimpun bangsa-bangsa di Asia, Afrika, dan Amerika Latin dengan Konferensi Asia Afrika di Bandung pada 1955 yang kemudian berkembang menjadi Gerakan Non Blok.

Pemberontakan G-30-S/PKI melahirkan krisis politik hebat yang menyebabkan penolakan MPR atas pertanggungjawabannya. Sebaliknya MPR mengangkat Soeharto sebagai Pejabat Presiden. Kesehatannya terus memburuk, yang pada hari Minggu, 21 Juni 1970 ia meninggal dunia di RSPAD. Ia disemayamkan di Wisma Yaso, Jakarta dan dimakamkan di Blitar, Jatim di dekat makam ibundanya, Ida Ayu Nyoman Rai. Pemerintah menganugerahkannya sebagai "Pahlawan Proklamasi". (Dari Berbagai Sumber)

SUSILO BAMBANG YUDHOYONO BICARA MENGENAI BUNG KARNO



Pembukaan peringatan 100 th Bung Karno

Nafas dari pidato saya yang sederhana ini tentu bukan untuk membedah dan memotret kembali sosok besar Bung Karnoyang telah mengukir sejarah Indonesia, dan akhirnya menjadi bagian dari sejarah itu sendiri.; tetapi ingin saya arahkan pada : memahami pikiran-pikiran besar Bung Karno, tentu hanya sebagian, yang begitu sentral dan fundamental dalam
perjalanan kehidupan negeri ini, sejak proklamasi kemerdekaannya, 17 Agustus 1945. Ini tidak berarti bahwa kita, dan generasi bangsa Indonesia manapun juga, boleh melupakan ketokohan dan sosok besar Bung Karno sebagai pemimpin besar, yang bukan hanya seorang proklamator,pejuang dan Founding Father dari Indonesia merdeka, tetapi yang juga karena cita-cita dan pikiran besarnya yang turut membentuk falsafah, nilai dan konsep dasar kebangsaan kenegaraan Republik Indonesia. Ini semua telah menjadi bagian dari sejarah dan warisan nasional (heritage) yangakhirnya membentuk kepribadian dan jati diri bangsa Indonesia hingga sekarang ini.

REFLEKSI KRITIS DALAM ERA REFORMASI
Setelah tiga tahun bangsa Indonesia berada dan mel;akukan
reformasi, ada sebuah keharusan untuk melakukan perenungan dan refleksi kritis. Dari sejumlah pertanyaan kritis yang dapat dikedepankan, yang paling mendasar barangkali adalah apakah reformasi ini bergerak dan memiliki arah yang benar sebagaimana yang menjadi semangat, cita-cita dan nilai dasar kita sebagai bangsa ? kalau jawabannya "Ya", kita boleh bersyukur dan merasa lega, meskipun reformasi ini merupakan proses yang tidak ringan, kaya persoalan, serta penuh dengan rintangan dan tantangan. Tetapi jika jawabannya "Tidak", berarti kita harus melakukan kontemplasi dan sekaligus koreksi, agar destorsi dan penyimpangan dalam reformasi ini dapat segera kita hentikan. Sesungguhnya reformasi adalah paduan dari kesinambungan dan perubahan (Continuity and Change). Hal-hal yang masih valid dan relevan, terlebih yang merupakan nilai dasar, fondasi dan pilar kehidupan bangsa
Indonesia, mesti kita pertahankan dan teruskan, sedangkan yang keliru, menyimpang dan tidak cocok lagi harus kita buang, ubah dan perbaharui.
Dalam keyakinan saya, sejumlah pikiran besar Bung Karno, baik yang masih berdiri sebagai pikiran pribadi, maupun yang telah menjadi bagian dari falsafah, nilai dan konsep dasarnegara nasional Indonesia, menjadi bagian dari kontinuitas yang menyertai perjalanan bangsa abad ke 21 ini. Jikalau kita menyadari bahwa akibat krisis dan perubahan dramatis yang
terjadi di negeri ini telah menghadirkan sejumlah ketidakpastian, kemunduran dan disorientasi, seminar ini sungguh tepat topik dan waktunya. Dalam hingar bingar dan eforiareformasi dewasa ini, semangat dan perilaku untuk menjebol, merombak dan mengganti jauh lebih tinggi dibandingkan kesadaran dan kapasitas untuk membangunnya kembali. Kesenjangan yang lebar antara proses dikonstruksi dan rekonstruksi inilah yang sungguh mencemaskan, karenaboleh jadi perjalanan bangsa akan kehilangan arahnya yang benar, dan sekaligus menyimpang dari jati diri dan nilai-nilai dasarnya. Akhirnya kita dituntun untuk kembali memahami dan menghayati cita-cita kebangsaan, tujuan nasional dan ideologi nasional, untuk sebuah reaktualisasi menuju Indonesia masa depan abad ke 21. Mau tidak mau kita mesti kembali kepada semangat dan kandungan proklamasi 17Agustus 1945, Pancasila dan Pembukaan UUD'45. Ambilahrumusan cita-cita kita sebagai bangsa yang tertuang dalam pembukaan UUD'45, yaitu : Merdeka, Bersatu, Berdaulat, Adil dan makmur, sudahkah cita-cita itu telah dapat
diwujudkan dalam kehidupan bangsa yang dinamis dan terus berkembang ini ? Hal-hal seperti inilah yang semestinya menjadi elemen kesinambungan dan benang merah falsafah, cita-cita dan konsep dasar kebangsaan masa kini dan masadepan.

TRISAKTI DAN AKTUALISASINYA

Sebagaimana yang menjadi topik seminar ini, yaitu telaah kritis Trisakti, yang selanjutnya dielaborasikan dalam tiga pilarutama : Berdaulat dan bebas dalam politik, Berdikari dalam Ekonomi, dan Berkepribadian dalam kebudayaan, saya ingin menyumbangkan pikiran bagaimana ketiga hal itu kita letakkan dalam perspektif yang kontekstual dan kontemporer. Wacana dan telaah ini perlu kita bangun, sekali lagi, agar proses rekonstruksi, perubahan dan kesinambungan dalam reformasi dapat dilakukan dengan benar. Bagi saya, pikiran pikiran dasar Bung Karno tidak boleh kita posisikan sebagai dogma, tetapi harus kita angkat sebagai pikiran terbuka dan menjangkau, menembus dimensi ruang dan waktu. Upaya untuk mengadaptasi dan mengemas kinikan pikiran-pikiran itu, termasuk Trisakti, adalah sebuah keniscayaan sejarah. Formulasi berdaulat dan bebas dalam politik, memang sarat dengan makna, dan sekaligus tantangan. Pikiran inilah yang sebenarnya memberikan Ruh dan tuntunan bagi politik luar negeri Indonesia yang bebas dan aktif. Pada periode yang lalu, sejak berakhirnya perang dunia II hingga berakhirnya
perang dingin, dimana dunia terbelah menjadi dua kutub dan asosiasi besar, blok barat dan bloki timur, keteguhan dan determinasi Indonesia dalam berdaulat dan bebas dalam politik ini menghadapi sejumlah persoalan dan tantangan. Masa kinipun, yang sesungguhnya sistim dan percaturan hubungan internasional tetap sarat dengan dominasi, keberpihakan, politik kekuatan, konflik kepentingan nasional, bahkan terkadang realitas "the winner takes all", menegakkan kedaulatan dan kebebasan politik tidak sepi dari tantangan dan permasalahan. Sementara itu, karakteristik hubungan internasional dewasa ini, yang amat dipenuhi oleh kampanye dan upaya sistematis untuk membumikan nilai-nilai demokrasi, hak-hak azasi manusia, pasar bebas, lingkungan hidup dan supremasi hukum, yang sering dikenal dengan nilai-nilai universal, telah memaksa susutnya peran negara nasional(Nation State). Dalam pikiran yang ekstrem, nasionalisme dianggap sebagai ideologi yang usang dan
kehilangan legitimasinya, sedangkan humanisme dan internasionalisme diletakkan sebagai ideologi bersama yang mesti dipatuhi dan dianut oleh seluruh bangsa dan manusia didunia ini. Inilah sebabnya, demi alasan kemanusiaan dan solidaritas global, intervensi internasional seolah mendapatkan legitimasi dan justifikasi apakah sebuah negara nasional dianggap melanggar aspek humanisme. Disini Human Interest diletakkan lebih utama dari National Interest, dan humanisme, implisit dan selaras dengan internasionalisme, dianggap lebih penting dari nasionalisme. Disini pula kedaulatan sebuah negara nasional menjadi tidak kebal dan dapat disisihkan. Inilah pergulatan yang kita alami
dewasa ini ketika kita bicara berdaulat dan bebas dalam politik. Sebenarnya limapuluh enam tahun yang lalu, dalam pidato 1 Juni 1945 Bung Karno telah mengedepankan isu sentral ini, bagaimana menyelaraskan dan membangun keseimbangan antara nasionalisme dan internasionalisme, atau antara kebangsaan dan kemanusiaan. Kalimat yang diangkat oleh Bung Karno bahwa "Internasionalisme tidak dapat hidup subur kalau tidak berakar dalam buminya nasionalisme, dan, nasionalisme tidak dapat hidup subur kalau tidak hidup dalam taman sarinya internasionalisme", sudah cukup jelas bahwa tidak perlu ada konflik diantara keduanya. Tetapi ingat sebagaimana kita telah diingatkan
oleh Bung Karno bahwa internasionalisme adalah bukan kosmopolitanisme. Kosmopolitanisme meremehkan nasionalisme, sehingga tidak cocok untuk bangsa Indonesia. Dalam keniscayaannya, berdaulat dan bebas dalam politik adalah merupakan pilihan. Seberat dan sekeras apapun tantangan yang kita hadapi dalam era globalisasi ini, harus tetap dipertahankan dan diperjuangkan implementasinya. Semangat untuk berdikari dalam ekonomi, tetap memiliki logika dan relevansi, sepanjang dimaknai dan diberikan penafsiran yang tepat. Berdikari, atau dalam pergeseran terminologinya menjadi mandiri, tidak boleh diartikan mengisolasi atau menutup diri. Berdikari atau mandiri, sebaliknya harus diartikan sebagai mencegah ketergantungan mutlak dan keharusan memiliki fundamental ekonomi yang kokoh. Kalau tidak, kita akan menjadi bulan-bulanan dalam percaturan ekonomi global yang kian diwarnai oleh kecenderungan dan realitas kapitalisme global baru ( The new global capitalism ) dan masyarakat terbuka ( Open Society ). Alangkah rawan dan berbahayanya jika 210 juta bangsa Indonesia ini tidak memiliki ketahnan ekonomi, tidak memiliki kecukupan memenuhi kebutuhannya sendiri pada komoditas tertentu, tidak memiliki fundamental yang kuat, tidak memiliki sumber daya manusia ( Human Capital ), produktifitas dan daya saing yang tinggi, dan tidak tahan terhadap goncangan ekonomi eksternal. Pengalaman krisis moneter dan ekonomi mulai th 1997 yang lalu memberikan pelajaran dan pengalaman yang amat berharga bagi bangsa Indonesia, bahwa dimasa depan ketahanan dan kemandirian dalam bidang ekonomi perlu terus dikuatkan. Substansi terakhir dalam Trisakti adalah Berkepribadian dalam kebudayaan. Domain dan dimensi budaya tentunya amat luas. Terkandung didalam nilai dan perilaku; etika, moral dan budi pekerti, gagasan, pengetahuan dan teknologi, kepribadian dan jati diri, dan lain-lain. Telaah kritis berkenaan dengan kepribadian dalam kebudayaan ini dapat menyentuh isu-isu utama seputar bagaimana bangsa Indonesia terus dapat berkembang menjadi bangsa yang kian maju, stabil, demokratis dan sejahtera, diatas landasan nilai, kepribadian dan jati dirinya, serta sosok masyarakat seperti apa yang hendak kita tuju (Good Society ). Menghadapi kerasnya benturan dalam percaturan global serta menghadapi kuatnya gejala disintegrasi nasional, sebuah bangsa harus membangun sendiri kekuatan, ketahanan dan pranata persatuan dan kesatuannya, agar bangsa yang bersangkutan tetap tegak, bergerak maju dan tampil terhormat. Upaya bangsa Indonesia untuk terus mempertahankan dan mengaktualisasikan sistem nilai, kepribadian dan jati dirinya dalam harmoni dan keselarasan dengan nilai-nilai universal, perlu diletakkan dalam konteks berkepribadian dalam kebudayaan. Adalah benar bahwa budaya itu adalah dinamis, terus berkembang dan "in the making", tetapi tidak berarti nilai, jati diri dan warisan nasional boleh dicabut dan ditinggalkan. Kontribusi saya berupa telaah umum, dan hanya membuat pokok-pokok pikiran dalam seminar penting ini tentulah tidak lebih dari suatu perspektif dan pendekatan dari banyak pikiran cerdas yang akan hadir, yang akan disumbang oleh saudara sekalian. Setidaknya kita telah memulai sebuah telaah dan refleksi kritis yang tepat topik dan tepat waktu. Menghadirkan idealisme dan pikiran-pikiran besar Bung Karno dalam proses "State, Nation and Caracter building" yang memang belum usai dinegeri ini nampaknya merupakan panggilan dan keniscayaan sejarah. Semoga partisipasi dan kontribusi kita semua menjadi bagian dalam upaya pembangunan menuju sosoknya yang makin maju, stabil, demokratis dan sejahtera diawal abad ke 21 ini. Jakarta, 27 Februari 2001